Masalah kemiskinan
di Indonesia
saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani, khususnya di wilayah
perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi masyarakat yang miskin adalah
tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang
memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Kemiskinan merupakan
persoalan struktural dan multidimensional, mencakup politik, sosial, ekonomi,
aset dan lain-lain. Sehingga secara umum “Masyarakat Miskin” sebagai suatu
kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentanan, ketidak berdayaan,
keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk menyampaikan aspirasinya. Situasi ini
menyebabkan mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya
secara layak (manusiawi).
Mengingat persoalan
yang struktural dan multi dimensi tersebut, maka upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan seharusnya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu
sendiri, dengan dukungan fasilitasi dari pemerintah maupun pihak swasta dunia
usaha dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sehingga penanggulangan
kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang lebih menjamin potensi
kemandirian dan keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tersebut,
dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah atau pihak di luar masyarakat.
Upaya penanganan
kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah
air. Outputnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini
terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan
lima tahunan (PELITA) pada tahun 1969, kurang lebih 60% penduduk Indonesia
berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian 1996 menjadi sekitar 12% dari
total penduduk Indonesia.
Tetapi ketika badai
krisis ekonomi pada tahun 1997 telah mengecilkan pencapaian prestasi
pembangunan nasional pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan yang mencapai
40% dari total penduduk Indonesia.
Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 17,2%
(37,4 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 214 juta
jiwa (Feb.2003). Hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia
mencapai 36,1 juta jiwa atau setara dengan 16,66% dari jumlah penduduk Indonesia.
Daerah padat penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa
Timur, dan Jawa Barat termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah
penduduknya padat maka secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia
pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta keluarga
dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang pada tahun
2004 berjumlah 79 ribu jiwa.
Pelajaran berharga
dan mungkin sebagai penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan
dalam melakukan pembangunan nasional pada umumnya, dan program penanganan
kemiskinan pada khususnya yang menempatkan warga miskin sebagai obyek
pembangunan perlu koreksi. Artinya, bahwa dalam upaya penanganan kemiskinan
perlu melibatkan penduduk miskin sebagai subyek pembangunan dan diharapkan
penanganan kemiskinan nantinya dapat dilakukan sendiri.
Orientasi berbagai
program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu
dimensi dari gejala-gejala kemiskinan ini, pada dasarnya mencerminkan
pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity, dan tidak
menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program yang dimaksud
tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak akan
mampu mewujudkan aspek keberlanjutan dari program penanggulangan kemiskinan
itu.
Pemahaman mengenai
masalah kemiskinan telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara
yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu
ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa
berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip
kemasyarakatan (good governance) dan prinsip-prinsip pembangunan keberlanjutan.
Di samping itu,
program selama ini tidak memperlihatkan integrasi dengan kebijakan-kebijakan
makro pembangunan. Itu karena pendekatan program tidak berangkat dari revisi
atas kebijakan pembangunan. Dibutuhkan banyak penyempurnaan yang mampu
mendorong dan melembagakan peran masyarakat lokal dengan lebih menekankan
partisipasi dan manajemen masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan.
Diharapkan pengembangan proyek ini mampu melandasi tumbuh berkembangnya
“gerakan masyarakat” dan “gerakan kemitraan” penanggulangan kemiskinan oleh
masyarakat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan kelompok lainnya.
Kemiskinan
merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Kemiskinan
dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu
adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang
dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak
pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga
diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Kemiskinan secara
umum dapat digolongkan dalam 3 pengertian, yaitu:
- Kemiskinan Natural (Alamiah). Keadaan miskin karena dari asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat miskin ini tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik SDA, SDM maupun sumber daya pembangunan lainnya.
- Kemiskinan Struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh hasil pembangunan yang belum seimbang.
- Kemiskinan Kultural. Mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya.
Masalah kemiskinan
di Indonesia
mendapat perhatian yang besar dan secara nasional. Kemiskinan mulai dekenal
dengan istilah kemiskinan struktural. Seorang tokoh sosiologi Indonesia,
Profesor Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural adalah kemiskinan
yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat
itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya
tersedia bagi mereka. Sebuah pernyataan yang kurang tepat, karena dalam
kenyataannya banyak orang miskin yang ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan
itu, tetapi tidak sepenuhnya menikmati hasil penggunaannya apalagi memilikinya.
Pengertian
kemiskinan ada 2, yaitu:
- Kemiskinan relatif: dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibanding dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
- Kemiskinan Absolute: suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolute dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, permukiman, kesehatan dan pendidikan.
Sekurang-kurangnya
ada 6 macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh
perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu:
- Kemiskinan subsistensi, penghasilan rendah, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.
- Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
- Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
- Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
- Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok sosial, terfragmentasi.
- Kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdulkahar Badjuri dan Teguh Yuwono, (2002), “Administrasi Kebijakan Publik”, Universitas Diponegoro, Semarang.
- Charles Adams, (1993), “Pertumbuhan Penduduk dan Penyebaran Kota”, Dalam Kumpulan esai yang berjudul Kemiskinan Perkotaan, Disunting oleh Parsudi Suparlan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Fraskho Maria kasih, “Praktek dan Teori Pembangunan Ketergantungan”, Analisis CSIS No. 9, 2000, Halaman 62.
- Hadiwinata, Bob S. (2003), “The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracyand Managing a Movement”, New York: Routledge Curzon.
- Hans-Dieter, Evers, (1993), “Produksi Substansi dan Masa Apung Jakarta”, Dalam Kumpulan esai yang berjudul Kemiskinan Perkotaan, Disunting oleh Parsudi Suparlan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Hartuti Purnaweni, “Diktat Kebijakan Publik”; Suntingan dari buku “Implemetating Public Policy“ oleh George C. Edward III, Undip Semarang.
- Irfan Islamy, (1998), “Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara”, Jakarta: Bina Aksara.
- Mazmanian, Dennis, (1975), “Implementation and Public Policy”, 1975.
- Moeljarto, (1997). “Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan Strategi”. Yogyakarta : Tiara Wacana.
- Nugroho, Riant. (2003). “Kebijakan Publik:
Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo.
- MeuthiaGanie-Rochman, (2002), “AnUphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto’s NewOrder”, Cetakan I, Jakarta: Penerbit LabSosio FISIP UI.
- Nashir, H. (1999). “Tragedi Sosial dan Kerapuhan Sistem Orde Baru Dalam Kedaulatan Rakyat”, Surat Kabar Harian, Jumat 26 maret.
- Santoso Sastroputo, (1998), “Partisipasi, Komunitas, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional”, Almuni, Bandung.
- Soejadi. (2001). “Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan”. Philosophy Press: Yogyakarta.
- Soejatmoko. (1989). “Dimensi Manusia dalam Pembangunan”. LPES. Jakarta.
- Soetrisno. (1998). “Memberdayakan Masyarakat Pedesaan”. Lembaga Ekologi Busdya. Sodoarjo.
- Suparlan, P. (1995). “Kemiskinan di Perkotaan“. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
- Sumarjan, Selo. (1990). “Aspek Sosial Budaya Pembangunan Desa Dalam Masyarakat”. Jurnal Sosiologi Vol. II. Jakarta.
- Sutyastie Soemitro Reni dan Pijono Tjiptoherijanto, (2002), “Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia”, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
- Wignyosoebroto, S., dkk, (1995). “Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentasannya”. Airlangga University Press. Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar