Selasa, 03 Agustus 2010

Kemiskinan di Perkotaan



Masalah kemiskinan di Indonesia saat ini dirasakan sudah sangat mendesak untuk ditangani, khususnya di wilayah perkotaan. Salah satu ciri umum dari kondisi masyarakat yang miskin adalah tidak memiliki sarana dan prasarana dasar perumahan dan permukiman yang memadai, kualitas lingkungan yang kumuh, tidak layak huni. Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan multidimensional, mencakup politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Sehingga secara umum “Masyarakat Miskin” sebagai suatu kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentanan, ketidak berdayaan, keterisolasian, dan ketidak mampuan untuk menyampaikan aspirasinya. Situasi ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya secara layak (manusiawi).

Mengingat persoalan yang struktural dan multi dimensi tersebut, maka upaya-upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri, dengan dukungan fasilitasi dari pemerintah maupun pihak swasta dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sehingga penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang lebih menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tersebut, dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah atau pihak di luar masyarakat.
Upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Outputnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan (PELITA) pada tahun 1969, kurang lebih 60% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian 1996 menjadi sekitar 12% dari total penduduk Indonesia.

Tetapi ketika badai krisis ekonomi pada tahun 1997 telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan nasional pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan yang mencapai 40% dari total penduduk Indonesia. Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin mencapai 17,2% (37,4 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia yang mencapai 214 juta jiwa (Feb.2003). Hingga 2004, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 36,1 juta jiwa atau setara dengan 16,66% dari jumlah penduduk Indonesia. Daerah padat penduduk seperti di Jawa Tengah, Daerah Istemewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat termasuk yang angka kemiskinannya tinggi. Karena jumlah penduduknya padat maka secara absolut jumlah penduduk miskinnya juga tinggi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 ini, 62 juta jiwa dan di Jawa Tengah, 3,17 Juta keluarga dinyatakan miskin. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Semarang pada tahun 2004 berjumlah 79 ribu jiwa.

Pelajaran berharga dan mungkin sebagai penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan dalam melakukan pembangunan nasional pada umumnya, dan program penanganan kemiskinan pada khususnya yang menempatkan warga miskin sebagai obyek pembangunan perlu koreksi. Artinya, bahwa dalam upaya penanganan kemiskinan perlu melibatkan penduduk miskin sebagai subyek pembangunan dan diharapkan penanganan kemiskinan nantinya dapat dilakukan sendiri.

Orientasi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan ini, pada dasarnya mencerminkan pendekatan program yang bersifat parsial, sektoral, charity, dan tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya program yang dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat yang pada akhirnya tidak akan mampu mewujudkan aspek keberlanjutan dari program penanggulangan kemiskinan itu.

Pemahaman mengenai masalah kemiskinan telah menyadarkan berbagai pihak bahwa pendekatan dan cara yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan selama ini perlu diperbaiki, yaitu ke arah perubahan perilaku/sikap dan cara pandang masyarakat yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan (good governance) dan prinsip-prinsip pembangunan keberlanjutan.
Di samping itu, program selama ini tidak memperlihatkan integrasi dengan kebijakan-kebijakan makro pembangunan. Itu karena pendekatan program tidak berangkat dari revisi atas kebijakan pembangunan. Dibutuhkan banyak penyempurnaan yang mampu mendorong dan melembagakan peran masyarakat lokal dengan lebih menekankan partisipasi dan manajemen masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Diharapkan pengembangan proyek ini mampu melandasi tumbuh berkembangnya “gerakan masyarakat” dan “gerakan kemitraan” penanggulangan kemiskinan oleh masyarakat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan kelompok lainnya.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.


Kemiskinan secara umum dapat digolongkan dalam 3 pengertian, yaitu:
  • Kemiskinan Natural (Alamiah). Keadaan miskin karena dari asalnya memang miskin. Kelompok masyarakat miskin ini tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik SDA, SDM maupun sumber daya pembangunan lainnya.
  • Kemiskinan Struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh hasil pembangunan yang belum seimbang.
  • Kemiskinan Kultural. Mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya.

Masalah kemiskinan di Indonesia mendapat perhatian yang besar dan secara nasional. Kemiskinan mulai dekenal dengan istilah kemiskinan struktural. Seorang tokoh sosiologi Indonesia, Profesor Selo Soemardjan mendefinisikan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Sebuah pernyataan yang kurang tepat, karena dalam kenyataannya banyak orang miskin yang ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan itu, tetapi tidak sepenuhnya menikmati hasil penggunaannya apalagi memilikinya.

Pengertian kemiskinan ada 2, yaitu:
  1. Kemiskinan relatif: dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibanding dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
  2. Kemiskinan Absolute: suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolute dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, permukiman, kesehatan dan pendidikan.
Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu:
  1. Kemiskinan subsistensi, penghasilan rendah, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.
  2. Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
  3. Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
  4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
  5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok sosial, terfragmentasi.
  6. Kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Abdulkahar Badjuri dan Teguh Yuwono, (2002), “Administrasi Kebijakan Publik”, Universitas Diponegoro, Semarang.
  2. Charles Adams, (1993), “Pertumbuhan Penduduk dan Penyebaran Kota”, Dalam Kumpulan esai yang berjudul Kemiskinan Perkotaan, Disunting oleh Parsudi Suparlan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  3. Fraskho Maria kasih, “Praktek dan Teori Pembangunan Ketergantungan”, Analisis CSIS No. 9, 2000, Halaman 62.
  4. Hadiwinata, Bob S. (2003), “The Politics of NGOs in Indonesia: Developing Democracyand Managing a Movement”, New York: Routledge Curzon.
  5. Hans-Dieter, Evers, (1993), “Produksi Substansi dan Masa Apung Jakarta”, Dalam Kumpulan esai yang berjudul Kemiskinan Perkotaan, Disunting oleh Parsudi Suparlan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  6. Hartuti Purnaweni, “Diktat Kebijakan Publik”; Suntingan dari buku “Implemetating Public Policy“ oleh George C. Edward III, Undip Semarang.
  7. Irfan Islamy, (1998), “Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara”, Jakarta: Bina Aksara.
  8. Mazmanian, Dennis, (1975), “Implementation and Public Policy”, 1975.
  9. Moeljarto, (1997). “Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan Strategi”. Yogyakarta : Tiara Wacana.
  10. Nugroho, Riant. (2003). “Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi”. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo.
  1. MeuthiaGanie-Rochman, (2002), “AnUphill Struggle: Advocacy NGOs Under Soeharto’s NewOrder”, Cetakan I, Jakarta: Penerbit LabSosio FISIP UI.
  2. Nashir, H. (1999). “Tragedi Sosial dan Kerapuhan Sistem Orde Baru Dalam Kedaulatan Rakyat”, Surat Kabar Harian, Jumat 26 maret.
  3. Santoso Sastroputo, (1998), “Partisipasi, Komunitas, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional”, Almuni, Bandung.
  4. Soejadi. (2001). “Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan”. Philosophy Press: Yogyakarta.
  5. Soejatmoko. (1989). “Dimensi Manusia dalam Pembangunan”. LPES. Jakarta.
  6. Soetrisno. (1998). “Memberdayakan Masyarakat Pedesaan”. Lembaga Ekologi Busdya. Sodoarjo.
  7. Suparlan, P. (1995). “Kemiskinan di Perkotaan“. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
  8. Sumarjan, Selo. (1990). “Aspek Sosial Budaya Pembangunan Desa Dalam Masyarakat”. Jurnal Sosiologi Vol. II. Jakarta.
  9. Sutyastie Soemitro Reni dan Pijono Tjiptoherijanto, (2002), “Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia”, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
  10. Wignyosoebroto, S., dkk, (1995). “Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentasannya”. Airlangga University Press. Surabaya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar