Selasa, 14 September 2010

BAB III
PERSPEKTIF DALAM SOSIOLOGI

 
3.1. Perspektif Evolusionis


1. Merupakan Perspektif teoretis yang paling awal dalam sosiologi

2. Perspektif ini didasarkan pada karya Augustu Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903)


 3. Perspektif ini memberikan keterangan tentang bagaimana masyarakat manusia berkembang dan tumbuh.
 

4. Para sosiolog yang memakai perspektif evolusioner, mencari pola perubahan dan perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda, untuk mengetahui apakah ada urutan umum yang dapat ditemukan.
Contoh :
a. Apakah faham komunis Cina akan berkembang sama seperti faham komunis Rusia yang memperoleh kekuasaan tiga dasa warsa lebih dulu.
b. Apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di negara berkembang sama dengan yang ditemukan di negara Barat.

5. Perspektif evolusioner adalah perspektif yang aktif, sekalipun bukan merupakan perspektif utama dalam sisiologi.


3.2. Perspektif Interaksionis


1. Perspektif ini tidak menyerankan teori-teori besar tentang masyarakat karena istilah “masyarakat”, “negara”, dan “lembaga masyarakat” adalah abstraksi konsptual sajaYang dapat ditelaah secara langsung hanyalah orang-orang dan interaksinya saja.


2. Para ahli interaksi simbolik seperti G.H. Mead (1863-1931) dan C.H. Cooley (1846-1929) memusatkan perhatiannya terhadap interaksi antara individu dan kelompok.
Mereka menemukan bahwa orang-orang berinteraksi terutama dengan menggunakan simbol-simbol yang mencakup tanda, isyarat, dan yang paling penting, melalui kata-kata tulisan dan lisan. Suatu kata tidak memiliki makna yang melekat dalam kata itu sendiri, melainkan hanyalah suatu bunyi, dan baru akan memiliki makna bila orang sependapat bahwa bunyi tersebut memiliki suatu arti khusus.


3. W.I. Thomas (1863-1947) mengungkapkan tentang Definisi suatu situasi, yang mengutarakan bahwa kita hanya dapat bertindak tepat bila kita telah menetapkan sifat situasinya.


4. Berger dan Luckman dalam bukunya Social Constructions od Reality(1966): Masyarakat adalah suatu Kenyataan Objektif, dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata, terlepas dari pandangan kita terhadap mereka.
Masyarakat adalah juga suatu kenyataan subjektif, dalam arti bagi setiap orang, orang dan lembaga-lembaga lain tergantung pada pandangan subjektif orang tersebut. Apakah sebagian orang sangat baik atau sangat keji, apakah polisi pelindung atau penindas, apakah perusahaan swasta melayani kepentingan umum atau kepentingan pribadi – Ini adalah persepsi yang mereka bentuk dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri, dan persepsi ini merupakan “kenyataan” bagi mereka yang memberikan penilaian tersebut.


5. Para ahli dalam bidang perspektif interaksi modern, seperti Erving Goffman (1959) dan Herbert Blumer (1962) menekankan bahwa orang tidak menanggapi orang lain secara langsung; sebaliknya mereka menanggapi orang lain sesuai dengan “bagaimana mereka membayangkan orang itu.”
 

3.3. Perspektif Fungsionalis
 
1. Dalam Perspektif ini, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok  yang bekerjasama secara terorganisasi yang berekrja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut.


2. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan ke arah keseimbangan, yaitu suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. 


3. Talcott Parsons (1937), Kingsley Davis (1937) dan Robert Merton (1957) ; Setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus menerus, karena hal itu fungsional.


4. Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru.


5. Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggap fungsional; bila perubahan sosial tersebut mengganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gangguan fungsional; bila perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional.


6. Dalam suatu negara demokratis, partai-partai politik adalah fungsional, sedangkan pemboman, pembunuhan dan terorisme politik adalah gangguan fungsional, dan pperubahan dalam kamus politik dan perubahan dalam lambang adalah tidak fungsional.


3.4. Perspektif Konflik


1. Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksploitasi kelas sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah 


2. C. Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975): Bilamana, para fungsionalis melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, maka para teoretisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus-menerus di antara kelompok dan kelas.


3. Teoretisi konflik melihat perjuangan meraih kekuasaan dan pengahasilansebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal, dimana orang-orang muncul sebagai penentang – kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.


4. Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan.


5. Mereka mengkalin bahwa “nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatukonsensus yang benar; sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptaankelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang.