Selasa, 13 November 2018

SOSIALISASI

Peter Berger mengatakan bahwa hewan hanya hidup dengan naluri, namun manusia hidup dengan naluri dan berpikir. Karena manusia dapat berpikir, manusia dapat mentransferkan pengalaman dan pengetahuannya kepada orang lain atau generasi berikutnya. Manusia dapat menciptakan kebudayaan. Kehidupan ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama, politik, kebudayaan, dapat dipelajari oleh setiap  anggota baru melalui suatu proses yang disebut sosialisasi. Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai ”a process by which a child learns to be a participant member of society” (suatu proses melalui mana seorang anak belajar menjadi seseorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat), (Horton, 1987). Melalui sosialisasi, masyarakat dimasukan ke dalam manusia. Yang dipelajari dalam sosialisasi adalah peranan-peranan  (roles). Oleh sebab itu teori sosialisasi, oleh sejumlah ahli sosiologi, disebut teori mengenai peran (role theory).

  1. Pemikiran Mead
Dalam bukunya mind, self and society (1972) George Herbert Mead menguraikan tahap pengembangan diri (self) manusia, terdiri dari tiga tahap: play, stage, game stage, dan generalized other. Anak yang baru lahir belum mempunyai diri (self).
Pada tahap play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang tuanya atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Kita sering melihat anak kecil yang bermain berperan sebagai ayah, menggendong atau memasak seperti ibu, berperan sebagai kakak, nenek, polisi, menyuntik atau memeriksa kesehatan temannya, dll., namun mereka sendiri tidak memahami mengapa peran itu dilakukan.
Pada tahap game stage, seorang anak sudah mengetahui peranan yang harus dijalankannya dan juga mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Misalnya, seorang anak berperan sebagai penjaga gawang dalam permainan sepak bola, maka ia sudah mengetahui perannya menjaga agar bola jangan masuk dan mengetahui peran wasit, teman-teman bermain dan lawannya.
Pada tahap generalized other, seseorang telah mampu berinteraksi dengan orang lain di dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri dan peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Pada tahap ini seseorang disebut telah mempunyai diri (self). Orang-orang penting yang ditiru oleh anak dalam proses sosialisasi, oleh Mead, disebut significant other. Jadi diri (self) seorang terbentuk, menurut pendapat Mead, melalui interaksi dengan orang lain.

  1. Pemikiran Cooley
Charles H. Cooley menekankan pada peranan interaksi dalam proses sosialisasi. Menurut Cooley, konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain, yang oleh Cooley diberi nama looking-glass self. Nama ini diberikan Cooley melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin. Kalau cermin memantulkan apa yang terdapat di depannya, maka menurutnya diri seseorang pun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. (Jhonson, (1986)
Looking glass self terbentuk melalui tiga tahap. Tahap pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Tahap kedua, seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Tahap ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakan sebagai penilaian orang lain terhadapnya.  Contoh, seorang mahasiswa yang mendapatkan nilai rendah (D dan E) dalam satu mata kuliah, ia merasa bahwa dosen di jurusannya menganggapnya bodoh. Karena perasaan ini, maka ia merasa kurang dihargai para dosennya. Karena merasa kurang dihargai maka ia menjadi murung. Disini perasaan mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya terhadap diri sendiri.

  1. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi adalah aktor yang melaksanakan sosialisasi. Fuller dan Jacob (1973) mengemukakan lima agen sosialisasi yaitu: keluarga (ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, dll), kelompok bermain (teman sebaya), media massa (media cetak, elektronik), sistem pendidikan (sekolah) dan masyarakat. (Narwoko, 2004)

  1. Sosialisasi Sekunder dan Sosialisasi Primer
Sosialisasi adalah suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia, sering disebut dengan Learning Process. Sosialisasi terbagi dua: sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer adalah Sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana dia menjadi anggota masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya.
Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering ditemui adalah proses rasionalisasi yang didahului oleh proses desosialisasi. Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri, sedangkan proses resosialisasi dimana seseorang diberi “suatu” kepada diri yang baru. Kedua proses ini oleh Goffman, sering dikaitkan dengan institusi total yaitu suatu tempat tinggal dan bekerja yang di dalamnya sejumlah individu dalam situasi sama, terputus dari masyarakat yang lebih luas untuk satu jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung yang diatur secara formal. Contoh: penjara, rumah sakit jiwa, pendidikan militer, dll. (Campbell, 1994).

  1. Pola-Pola Sosialisasi
Pertama, sosialisasi dengan cara represi, yaitu sosialisasi dengan cara menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Cara lain melalui penekanan pemberian materi, penekanan pada kepatuhan anak terhadap orang tua, penekanan pada komunikasi satu arah yang berisi perintah dan peranan keluarga sebagai significant other. Kedua, sosialisasi dengan cara partisipasi, yaitu anak diberi imbalan apabila berkelakuan baik, hukum dan imbalan bersifat simbolis, anak diberi kebebasan, penekanan diberikan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, kebutuhan anak dianggap penting dan keluarga menjadi generalized other.
Adapun ciri - ciri sosialisasi represif di antaranya sebagai berikut.
  • 1.      Menghukum perilaku yang keliru.
  • 2.      Adanya hukuman dan imbalan materiil.
  • 3.      Kepatuhan anak kepada orang tua
  • 4.      Perintah sebagai komunikasi.
  • 5.      Komunikasi nonverbal atau komunikasi satu arah yang berasal dari orang tua.
  • 6.      Sosialisasi berpusat pada orang tua.
  • 7.      Anak memerhatikan harapan orang tua.
  • 8.      Dalam keluarga biasanya didominasi orang tua.


Ciri - ciri Sosialisasi Partisipatirisantara lain sebagai berikut.
  • 1.      Memberikan imbalan bagi perilaku baik.
  • 2.      Hukuman dan imbalan bersifat simbolis.
  • 3.      Otonomi anak.
  • 4.      Interaksi sebagai komunikasi.
  • 5.      Komunikasi verbal atau komunikasi dua arah, baik dari anak maupun dari orang tua.
  • 6.      Sosialisasi berpusat pada anak.
  • 7.      Orang tua memerhatikan keinginan anak.
  • Dalam keluarga biasanya mempunyai tujuan yang sama

PENGANTAR SOSIOLOGI

PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI SOSIAL
Pengetahuan tentang proses-proses sosial memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengertian mengenai segi yang dinamis/gerak masyarakat dan segi yang statis/ struktur masyarakat. Dewasa ini, para sosiolog memperhatikan kedua segi masyarakat itu, yaitu segi statisnya atau struktur masyarakat serta segi dinamis atau fungsinya masyarakat. Terdapat aspek-aspek struktural dan prosesual.
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan atau kelompok-kelom-pok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, penikahan dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses sosial, pengertian yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.
A. Interaksi Sosial Sebagai Faktor Utama Dalam Kehidupan Sosial.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial adalah : Pola hubungan saling pengaruh mempegaruhi antara individu dengan individu, indivudu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok dan kelompok dengan masyarakat. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu nilai yang maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya.
Berlangsungnya suatu proses interaksi oleh Soerjono Soekanto (1974) didasarkan pada pelbagai fak­tor, antara lain, Faktor Imitasi, Sugesti, Identifikasi dan Simpati:
Ø  Faktor imitasi, dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, hal-hal yang negatifpun bisa terjadi di dalam prosesnya.
Ø  Faktor Sugesti, berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pan­dangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter.
Ø  Faktor Identifikasi, sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identi­fikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya.
Ø  Faktor Simpati, sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti. Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosiai.

B.  Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Menurut Kingsley Davis, Suatu interaksi sosiai akan terjadi apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
1.  Adanya kontak sosiai (social-contact),
2.  Adanya komunikasi. (Soekanto, 1982)
Kata kontak berasal dari bahasa Latin CON atau CUM (yang artinya bersarna-sama) dan TANGO (yang artinya menyentuh), jadi secara etimologis adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti misalnya, dengan cara berbicara dengan pihak lain, berkedik mata, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainnya melalui telepon, telegrap, radio, surat dan seterusnya, yang tidak memerlukan suatu hubungan badaniah
Arti terpenting komunikasi ialah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
C. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation) persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). 
Gillin dan Gillin mengemukakan ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
1.      Proses yang asosiatif (processes of association) yakni:  a. akomodasi, b. asimilasi dan akulturasi.
2.      Proses yang disosiatif (processes of dissociation) yang mencakup : a. Persaingan, b. Persaingan (kontravensi), c. pertikaian/pertentangan (conflict).
Sistematika yang lain pernah pula dikemukakan oleh Kimball Young, bentuk-bentuk proses sosial adalah:  1). Oposisi (mencakup persaingan/competition dan pertentangan atau pertikaian/conflict), 2). Kerjasama/co-operation yang menghasilkan akomodasi, 3). Diferensiasi/differentiation (merupakan suatu proses di mana seseorang memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dengan orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, seks dan pekerjaan. Diferensiasi tersebut menghasilkan sistern berlapis-lapisan dalam masyarakat, (Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964)
1. Proses-proses yang Asosiatif
Proses sosial itu dapat disebut asosiatif karena adanya unsur “gerak pendekatan atau penyatuan”
a. Kerja sama (Cooperation)
Kerja sama menggambarkan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mem­punyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna".
Dalam teori-teori sosiologi akan dapat dijumpai beberapa bentuk kerja sama yaitu; kerja sama spontan (spontaneous coope­ration), kerja sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual cooperation) dan kerja sama tradisional (traditional coopera­tion). Yang pertama adalah kerja sama yang serta-merta, yang kedua meru-pakan hasil dari perintah atasan atau penguasa, yang ketiga merupakan kerja sama atas dasar tertentu, dan yang keempat merupakan bentuk kerja sama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Dilihat dari pelaksanaannya maka kerja sama terdapat lima bentuk yakni :
i.   Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong.
ii.  Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
iii. Ko-optasi (Co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organi­sasi, sebagai salah-satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.
iv. Koalisi (Coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.
v.  Joint-ventrue, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya, pemboran minyak, pertambangan batu-bara, perfilman, perhotelan, dan seterusnya.

b. Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norrna sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin akomodasi adalah konsep yang artinya sama dengan pengertian adaptasi (adaptation). Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:
i)      Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan.
ii)    Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu
iii)   Untuk mernungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelom­pok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta;
iv)   Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpi­sah, misalnya, lewat perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas.


Ø  Bentuk-Bentuk Akomodasi
Akomodasi sebagai suatu proses mempunyai beberapa bentuk, yaitu:
1.    Coercion, adalah proses dilaksanakan oleh karena adanya paksaan (ex. Perbudakan)
2.    Compromise, proses dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
3.    Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromi, apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-pihak yang bertentangan.
4.    Mediation hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundanglah pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasihat belaka, tak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-keputusan.
5.    Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation bersifat lebih lunak daripada coercion dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.
6.    Toleration, juga sering dinamakan tolerant-participation. Ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak individu atau kelompok-kelompok manusia untuk menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
7.    Stalemate, dimana pihak-pihak yang bertentangan mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya. Contoh antara Amerika Serikat dengan Soviet Rusia di bidang nuklir.
8.    Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
            c. Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial ditandai de­ngan adanya peleburan kebudayaan sehingga pihak-pihak yang tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal sebagai milik bersama atau dengan kata lain merupakan usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan pro­ses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Proses asimilasi terjadi bila :
  • Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya.
  • Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga
  • Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain adalah:
Ø  Toleransi.
Ø  Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi.
Ø  Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya,
Ø  Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.
Ø  Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan.
Ø  Perkawinan campuran (amalgamation).
Ø  Adanya musuh bersama dari luar.
Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengakui kelemahannya, kelebihannya akan mendekatkan masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudayaan tersebut. Apabila ada prasangka, maka hal demikian akan jadi penghambat bagi berlangsung-nya proses asimilasi.
Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya asi­milasi adalah antara lain:
Ø  Terisolasi kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat (biasa-nya golongan minoritas). Suatu contoh adalah orang-orang Indian di Amerika Serikat yang diharuskan bertempat tinggal di wilayah-wilayah tertentu (disebut reservation).
Ø  Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu.
Ø  Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi.
Ø  Perasaan superior, bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau keiompok lainnya.
Ø  Perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah-satu penghalang terjadinya asi­milasi.
Ø  In-group feeling pada kebudayaan masing-masing, menjadi penghalang berlang-sungnya asimilasi.
Ø  Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi, kelompok.
2.      Proses-proses yang Disosiatif.
Sebagaimana halnya dengan proses asosiatif, proses sosial yang bersifat disosiatif pun dapat selalu ditemukan pada setiap masyarakat, bentuk dan coraknya pun bervariasi tergantung dari keadaan budaya masyarakat setempat. Persoalan yang muncul apakah masyarakat lebih menyukai proses yang asosiatif atau yang disosiatif. Proses yang disosiatif akan diuraikan sebagai berikut :
a. Persaingan (competition).
Persaingan atau competition diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik tanpa mernpergunakan ancaman atau kekerasan.
Persaingan akan menimbulkan perubahan-perubahan sosial yang cepat. Pada saat industri melakukan otomotisasi atau komputerisasi, misalnya, terlihat bahwa yang paling tertinggal adalah masyarakat beserta segala pranata sosialnya: lembaga-lernbaga kernasyarakatan, pola hubungan keluarga, sistem nilai, sistem norma dan seterusnya.
b. Kontravensi (Contravention)
Kontravensi berasal dari kata latin, conta dan venire yang berarti mengahalangi atau menantang. Dalam kontravensi terkandung usaha untuk merintangi pihak lain dalam pencapaian tujuan. Kontravensi terutama ditandai dengan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang.
Dalam bentuknya yang murni, kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Sikap tersembunyi tersebut dapat berubah menjadi kebencian, akan tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kontravensi berarti proses persaingan dan pertikaian yang ditandai oleh gejala ketidakpastian mengenai pribadi seseorang dan perasaan tidak suka yang disembunyikan terhadap kepribadian seseorang.
Contravention atau kontravensi adalah suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dengan konflik. Kontravensi ditandai dengan gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian, atau keragu-raguan terhadap kepribadian seseorang.
Kontravensi dapat tertuju pada suatu pandangan, pikiran, keyakinan, atau rencana yang dikemukakan oleh seseorang atau kelompok lain.
Proses kontravensi menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker mencakup lima subproses sebagai berikut.
1)      Proses yang umum dari kontravensi meliputi perbuatanperbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, menghalang-halangi protes, kekerasan, dan perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.
2)      Bentuk-bentuk kontravensi yang sederhana, seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki orang lain, mencerca, memfitnah, atau melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain.
3)      Bentuk-bentuk kontravensi intensif yang mencakup penghasutan, menyebar desas-desus, atau mengecewakan pihak lain.
4)      Kontravensi yang bersifat rahasia, seperti menyebarkan rahasia orang lain dan berkhianat.
5)      Kontravensi yang bersifat taktis misalnya mengejutkan lawan, mengganggu atau membingungkan pihak lain.
c. Pertentangan (Pertikaian atau Conflict)
Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Secara ekstrim sampai pada taraf pembinasaan eksistensi seseorang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan.
Perasaan memegang peranan penting dalam memper­tajam perbedaan-perbedaan, sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling menghancurkan.
Sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan antara lain adalah :
1.      Perbedaan antara individu-individu.
2.      Perbedaan kebudayaan.
3.      Perbedaan kepentingan.
4.      Perubahan sosial.
Walaupun pertentangan merupakan suatu proses disosiatif yang agak tajam, akan tetapi pertentangan sebagai salah satu bentuk proses sosial juga mempunyai fungsi positif bagi masyarakat.
Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain:
a)    Pertentangan pribadi. b) Pertentangan rasial. c) Pertentangan antara kelas-kelas sosial. d) Pertentangan politik. e) Pertentangan yang bersifat internasional.
  
D. Interaksionis Simbolik
Teori interaksi simbolik adalah hubungan antara simbol dan interaksi. Menurut Mead, orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi tertentu.
Sedangkan simbol adalah representasi dari sebuah fenomena, dimana simbol sebelumnya sudah disepakati bersama dalam sebuah kelompok dan digunakan untuk mencapai sebuah kesamaan makna bersama.
Simbol dibedakan menjadi dua, yakni:
·         Simbol verbal (penggunaan kata-kata atau bahasa, contohnya kata ‘motor’ itu merepresentasikan tentang sebuah kendaraan beroda 2).
·         Simbol nonverbal (lebih menekankan pada bahasa tubuh atau bahasa isyarat) contoh: lambaian tangan, anggukan kepala, gelengan kepala. Semua itu tadi mempunyai makna sendiri-sendiri yang dapat dipahami oleh individu-individu.
Untuk mempelajari interaksi sosial digunakan pendekatan interactionist perspective (Douglas,) dan symbolic interaction (Mead). (Ritzer, 2004) Interaksionisme mengacu pada interaksi sosial, dan kata simbolis mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi. Menurut Leslie White, simbol adalah a thing the value or meaning of which is bestowed upon by those who use it (White, 1968). Simbol adalah sesuatu yang nilai atau makannya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut White, makna suatu simbol hanya dapat berarti berani, dapat berarti kaum komunis (kaum merah), dapat berarti tempat pelacuran (daerah lampu merah). Warna putih dapat berarti suci, dapat berarti menyerah, dapat berarti berkabung (pada orang Tionghoa). Makna-makna tersebut tidak dapat ditangkap dengan pancaindera dan tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat pada warna. Demikian juga dengan sapi di India dianggap suci, patung atau hewan dianggap suci, tergantung pada makna yang diberikan oleh pihak yang menggunakannya.
            Herbert Blumer, berusaha menjabarkan pemikiran Mead, mengatakan bahwa interaksionisme simbolis ada tiga, yaitu : manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seseorang penganut agama Islam di Pakistan, karena masing-masing orang tersebut mempunyai makna (meaning) yang berbeda. Blumer juga mengemukakan bahwa makna berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Makna diperlukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya.
Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes mengatakan bahwa interaksi simbolik adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lainnya menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia. (Narwoko, 2004)




Selasa, 04 Juni 2013

TAHU DIRI...

Segala puji bagi Allah S.W.T atas rahmat dan kasih sayang-Nya memberikan ruang dan peluang untuk mendapatkan ilmu di dunia. Salawat dan salam ke atas junjungan Nabi Muhammad S.A.W serta para sahabat.

Sesungguhnya malu merupakan sifat utama yang dapat menjauhkan manusia daripada perbuatan rendah akhlak, rendah moral keilmuannya dan mencegahnya dari keruntuhan moral dan bergelumang dengan dosa. Sebagaimana malu juga merupakan faktor pendorong utama pada perbuatan mulia.

Kesan yang paling besar hilang malu ialah ketika ada yang tidak memiliki dasar keilmuan lalu mengaku memiliki ilmu tersebut sampai-sampai disebut dengan P E N G A M A T dan hal ini banyak di sekitar kita muncul di media masa dan mengaku pengamat dadakan yang pada akhirnya memalukan diri sendiri.........
 

BATASAN MALU

Istilah al-hayaa’u (malu) berasal dari perkataan al-hayaatu (hidup).  malu iaitu disebut sebagai kehidupan dunia dan akhirat. Oleh itu, mereka yang tidak mempunyai sifat malu dianggap mati didunia dan akan menderita di akhirat.

Ini kerana, malu adalah merupakan kunci kepada kebaikan: Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kita Al-ADAB, sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud:“ malu itu hanya mendatangkan kebaikan “

Malu merupakan asas yang kuat untuk membentuk iman yang utuh. Allah s.w.t mengkhususkan sifat malu ini kepada manusia agar mereka terhindar dari keburukan dan kehinaan agar mereka tidak sama seperti binatang yang menerkam segala yang diingininya tanpa rasa malu.

2 Jenis Sifat Malu

- Malu Jibiliyyun, iaitu malu yang bersifat semulajadi. Contoh malu yang bersifat fitrah ini ialah malu untuk telanjang. (Nabi Adam dan Siti Hawa a.s pada awal lagi mereka malu untuk mendedahkan aurat masing-masing lantas apabila terdedah cepat-cepat mereka tutup dengan daun anggota tertentu.)

- Malu Kasabiyyun, iaitu malu yang diusahakan. Pada asalnya malu bukanlah bersifat diusahakan namun untuk menyempurnakannya ia boleh diusahakan. Contohnyahasil usaha dan kajian yang membentuk sifat makrifatullah, iaitu menjadikan seseorang itu malu kerana takut akan keesaan Allah s.w.t. Malu imani ini dapat mencegah seseorang itu daripada membuat dosa.


Diantara Kebaikan Sifat Malu Ialah:

- mencegah keburukan dan sebarang perbuatan dan pertuturan yang mendatangkan fitnah.

- Memelihara diri dari melakukan kemungkaran dengan memastikan diri sentiasa terhidar dari aktiviti yang tidak sihat serta bahan-bahan bacaan serta hiburan yang boleh merosakkan akidah.

- Menjadikan diri istiqamah dalam membuat kebaikan.

- Menjadikan diri sebagai anak yang baik serta masyarakat yang bertanggungjawab.

Diantara Keburukan Sifat Malu Ialah:

- Malu kepada manusia melebihi malu kepada Allah s.w.t contohnya: ketika berseorangan abaikan solat kerana tidak malu kepada yang maha melihat dan ketika bersama kawan mula timbul perasaan malu untuk menunaikan solat.

- Malu yang tidak kena pada tempatnya, contohnya malu untuk bertanya arah sesuatu perjalanan yang menyebabkan sesat jalan.

- Malu dengan kekurangan diri dan tidak bersyukur. Menjadikan diri rendah diri dan tidak bersyukur dengan nikmat ujian Allah s.w.t.